Q.S. Ar-Rum: 21
Pertemuan pertama kami terjadi di PT. Lentera Bumi Nusantara, Tasikmalaya. Aku sedang melaksanakan kegiatan kampus, sedangkan Mas tengah menjalani kerja praktik. Saat mata kami bertemu, ada getaran halus yang mengalir, seolah dunia sejenak berhenti. Namun, aku menganggapnya hanya sebagai kekaguman sesaat, tak pernah terlintas di benakku bahwa kami akan dipersatukan oleh takdir.
Tugas akhir membawaku kembali ke tempat itu, dan tak disangka, Mas masih berada di sana. Kami sudah mulai berkomunikasi melalui Instagram, namun hanya sebatas percakapan ringan. Di bulan ini, kami bertemu lagi, dan percakapan kami pun semakin sering. Tapi, hubungan kami tak berjalan seperti kisah cinta pada umumnya. Alih-alih bertukar rayuan, kami malah sering bertengkar kecil. Mas suka menyelipkan candaan tajam seperti, “Dih, gitu doang,” atau “Dih, alay banget.” Hingga suatu saat, aku memilih untuk berhenti merespons balasannya di Instagram.
Tahun ini, salah satu mimpiku tercapai, dan Mas adalah salah satu sosok yang berperan penting di balik keberhasilanku. Ia membantu menemukan kembali jati diriku yang sempat hilang setelah kepergian bapak. Namun, kesibukan kami masing-masing membuat kami kehilangan kontak lagi untuk sementara waktu.
Setelah bertahun-tahun tanpa kontak, akhirnya kami kembali berbicara tepat di waktu kepergian bapak. Mas mengirimkan belasungkawa, dan tak lama kemudian, ia mulai mengikuti akun Twitterku yang penuh dengan curahan hati. Setiap utas yang kutulis, Mas selalu memberikan tanggapan, masih dengan gayanya yang suka bercanda. Namun kali ini berbeda. Meski candanya tetap menyebalkan, ada kehangatan di baliknya. Di saat aku merasa rapuh setelah kehilangan bapak, Mas hadir dengan caranya yang unik—candaan yang memberi kekuatan. Perlahan, aku mulai merasa nyaman dengan kehadirannya. Ia selalu ada untuk mendengarkan, menyemangati, dan mengingatkanku bahwa hidup harus terus berjalan.
Pada saat itu, aku sudah berhenti berharap. Tak pernah terbayang bahwa hidup kami akan bersatu. Tapi tiba-tiba, Mas hadir membawa kepastian yang tidak kuduga. Saat ia menanyakan apakah aku mau menjalani hidup bersamanya, hatiku tak menyimpan sedikit pun keraguan. Di setiap langkahnya, aku melihat bayangan bapak—sosok yang tegas namun lembut, penuh kasih namun tetap berprinsip. Dengan restu dari mama, keluarga, dan teman-teman, aku menerima lamarannya. Kami pun melaksanakan khitbah pada 14 April 2024.
Pada hari yang penuh makna ini, yang bertepatan dengan Hari Ibu dan ulang tahun almarhum Bapak, kami berdua ingin memberikan kado terindah meski Bapak kini telah berpulang. Kami berharap kebahagiaan ini tetap sampai, mengalir seperti doa yang tak terputus. Kado tersebut adalah ikatan janji suci pernikahan. Meskipun hubungan kami sebagian besar dijalani melalui WhatsApp, dengan jarak memisahkan Mas di Bali dan aku di Bandung, cinta kami tetap tumbuh tanpa mengenal batas ruang. Hanya beberapa kali kami bertemu langsung, namun dari layar ponsel, cinta ini semakin menguat lewat pesan-pesan penuh makna.
Akhirnya, di tanggal ini kami akan memulai perjalanan hidup baru, berlayar menuju samudra cinta dan harapan yang penuh dengan kebahagiaan. Lucunya, ternyata Mas juga merasakan hal yang sama denganku sejak pandangan pertama. Ia yang dulu suka bercanda tajam, ternyata gugup dan mencoba menyembunyikan perasaannya. Kini, candaan yang dulu terasa mengganggu, terungkap sebagai wujud perhatian yang penuh kasih. Betapa indahnya takdir telah menuntun kami ke dalam simpul cinta yang abadi.